Minggu, 03 November 2024

Informasi Produksi Godzilla

3 November 1954, film kaiju karya Toho ini pertama kali tayang di bioskop Jepang. Meski tayang perdana secara nasional di Jepang pada tanggal tersebut, Godzilla sudah tayang lebih dahulu pada 27 Oktober 1954 di Nagoya.


Film Monster Raksasa Pertama Di Jepang

Pada akhir tahun 1920-an dan awal 1930-an, Amerika Serikat memproduksi film monster raksasa yang belum pernah dilakukan sebelumnya. Terinspirasi dari film-film itu, beberapa sineas Jepang turut membuat film monster juga. Meski mengalami berbagai keterbatasan, film ini justru memperkenalkan unsur baru yang belum pernah dilakukan pada film Amerika.

Mengenai apakah Godzilla dianggap sebagai film kaiju (monster raksasa) paling pertama yang diproduksi Jepang, sebenarnya tidak sepenuhnya tepat karena Daibutsu Kaikoku, sebuah film mengenai kedatangan Buddha raksasa di perkotaan, sudah rilis lebih dahulu pada tahun 1934. Sayangnya film ini hilang tanpa satupun rekaman tersisa dan hanya ada potongan gambar mengenai film ini yang masih bisa dilihat. Mungkin jika dibandingkan secara skala produksi, Godzilla menjadi yang pertama dibuat secara skala besar.

Sebelum berbicara lebih banyak mengenai film yang dimaksud, kami akan membahas dahulu mengenai awal mula dari nama-nama penting yang akan terlibat dalam film ini.


Awal Mula Para Kreator Film Ini

Pada tahun 1920-an, industri film di Jepang menjadi salah satu korban dari Gempa Besar Kanto tahun 1923 karena tak terhitung jumlah film yang hancur maupun hilang pada bencana tersebut. Namun sekitar tahun 1930-an, film Jepang mulai bangkit. Salah satu diantara film yang muncul pada masa ini adalah Otome-gokoro Sannin Shimai (Tiga Saudari Berhati Perawan) di tahun 1935 yang didistribusikan oleh P.C.L (Photo Chemical Laboratory).

Ketika film Jepang mulai bangkit di awal tahun 1930-an, Amerika Serikat merilis sebuah film yang nantinya menjadi salah satu film monster paling berpengaruh sepanjang masa; King Kong di tahun 1933. Di balik layar, Willis H. O'Brien adalah orang yang bertanggung jawab "menghidupkan" Kong di layar lebar melalui animasi stop motion, yang sebelumnya juga pernah beliau lakukan pada The Lost World di tahun 1925. Karya O'Brien dalam King Kong membuat kagum banyak orang di seluruh dunia, termasuk salah satunya adalah seorang sinematografer muda di Jepang bernama Eiji Tsuburaya.

Film King Kong membuat Tsuburaya menetapkan karirnya di dunia film. Saat itu beliau bekerja sebagai sinematografer di Nikkatsu, dan di waktu senggang, Tsuburaya menganalisa teknik dalam film King Kong untuk mencari cara replikasi tekniknya. Dari sini namanya mulai dikenal diantara orang perfilman karena menciptakan peralatan perfilman seperti derek kamera fleksibel. 

Pada waktu berdekatan, Ishiro Honda sedang menjalani kuliah di Universitas Nihon, dimana beliau adalah seorang mahasiswa yang tertarik pada sains dan sinema. Dari sinilah Honda bertemu Iwao Mori, produser P.C.L yang sedang merekrut pembuat film yang masih muda dan ambisius untuk membuat Jepang dapat mengejar ketinggalan dalam dunia perfilman. Namun pada tahun 1934, Honda harus mengikuti wajib militer pada awal-awal karir filmnya. Kengerian perang dan pengalamannya di militer kemudian membentuk pandangan dunia yang pasifis dalam hidupnya.

Ishiro Honda (kiri) dan Eiji Tsuburaya (tengah)



Pada tahun 1941, serangan Jepang terhadap Pearl Harbor di Amerika Serikat membuat industri film menjadi mesin propaganda. Pada tahun 1943, P.C.L dan beberapa perusahaan bergabung dan menjadi Toho yang dikenal sekarang. Pemerintahan Jepang menggunakan Toho untuk membuat film edukasi perang, dimana Tsuburaya yang membuat efek khususnya. Diantara banyak film propaganda yang dia buat, Hawai Mare Oki Kaisen menjadi karya Tsuburaya yang paling menarik perhatian karena adegan reka ulang serangan Pearl Harbor terlihat sangat meyakinkan, sampai bisa menipu pihak Amerika yang mengira itu adalah cuplikan dokumenter sungguhan.

Pada tahun 1945, peristiwa bom atom Hiroshima dan Nagasaki terjadi sehingga Jepang menyerah dari perang tak lama kemudian. Wajib militer Honda akhirnya selesai, dan ketika beliau kembali ke Jepang di tahun 1946, Iwai Mori yang saat itu telah menjadi produser eksekutif Toho menyambutnya karena berjanji untuk mengajaknya membuat film setelah kembali dari perang. Namun tak lama setelahnya, Mori dianggap sebagai penjahat perang kelas B karena telah terlibat dalam film propaganda, sehingga dia diskors dari industri film sampai tahun 1952. 

Tsuburaya pun mengalami hal serupa dengan Mori karena menjadi salah satu nama penting dalam film propaganda. Selama masa ditangguhkan ini, beliau menyempurnakan keahliannya dan bekerja lepas, tapi tetap saja ini adalah masa sulit bagi dirinya. Suatu hari di tahun 1949, Tsuburaya bertemu seorang musisi muda dalam sebuah pesta minum di Kyoto. Musisi muda ini adalah Akira Ifukube, yang saat itu belum tahu akan bertemu kembali dan bekerja sama dengan pria tadi nantinya, dan menggubah sebuah musik legendaris...


Awalnya Proyek Film Bersama Indonesia

Pada bulan Agustus 1953, produser Tomoyuki Tanaka mengerjakan sebuah proyek kerjasama dengan Perusahaan Film Nasional Indonesia (Perfini) dan filmnya akan berjudul Eikou no Kage ni (Di Bawah Bayangan Kemuliaan). Sutradara, penulis, sampai pemeran sudah ditetapkan, dan ceritanya akan menggambarkan mantan tentara Jepang yang tidak kembali ke Jepang setelah perang dan bertempur dalam perang kemerdekaan melawan Belanda untuk kemerdekaan Indonesia. Persiapan berjalan mulus, crank-in dijadwalkan pada awal April 1954, bahkan Tanaka juga sampai datang ke Indonesia. Namun pada tanggal 25 Maret 1954, Perfini menerima pemberitahuan dari Menteri Luar Negeri Indonesia bahwa mereka tidak dapat menyetujui produksi film ini karena tidak setuju dengan ide ceritanya.

Tomoyuki Tanaka
Tanaka mengalami masa yang sangat sulit ketika ditolak oleh menteri negara lain, yang menentang ide pembuatan film bersama ketika belum ada hubungan diplomatik, meskipun rencana pembuatan film bersama berjalan dengan sangat baik. Beliau tiba-tiba dipaksa untuk membuat proyek alternatif dalam perjalanan pulangnya dari Indonesia. Pada saat itu, tes nuklir di Bikini Atoll yang menyebabkan awak kapal Daigo Fukuryu Maru terkena radiasi pada bulan Maret 1954 sedang menjadi isu sosial. Terinspirasi dari kejadian tersebut, Tanaka merencanakan film tokusatsu tentang "dinosaurus yang berbaring di dasar laut Bikini Atoll yang akan dibangunkan oleh uji coba bom hidrogen dan menyerang Jepang." 

Ide Tanaka ini memiliki judul tentatif Kaiten Niman Mairu kara kita Daikaiju (Monster Raksasa dari 20.000 Mil di Bawah Laut), yang dari namanya mirip dengan film The Beast from 20.000 Fathoms produksi Amerika di tahun 1953. Ketika beliau menyerahkan proyek ini ke rapat perencanaan di kantor pusat Toho, hal itu menarik perhatian produser eksekutif Iwao Mori. Mori menegaskan kembali pentingnya film tokusatsu, mengatur ulang "Bagian Teknologi Khusus" di dalam Toho, yang telah dibubarkan setelah perang, dan mengundang Tsuburaya lagi untuk memperkuat bagian ini. Dengan demikian, meski manajemen atas Toho menganggap konten film itu tidak masuk akal dan menganggapnya mustahil untuk divisualisasikan sebagai "tipuan anak-anak," Mori sangat mendukung proyek tersebut, dan proyek tersebut akhirnya mendapat lampu hijau.


"Karya G" Dimulai

Proyek ini dinamakan "G Sakuhin" (Karya G) pada bulan Mei, dan harus dijalankan secara sangat rahasia. Pada saat ini, nama Godzilla sudah ditetapkan oleh Departemen Literatur Toho. Setelah cerita kasar dan latar monster ditetapkan, Tanaka dan Tadashi Matsushita dari Departemen Literatur mengunjungi kediaman Shigeru Kayama, penulis fantasi yang menggemari karya Tanaka, dan memintanya untuk menulis cerita film ini. Kayama langsung setuju dan pembicaraan beliau dengan Tanaka terjadi tanpa banyak kata di pertengahan Mei. 

G Sakuhin
Setelah itu, Kayama mulai menulis di sebuah penginapan bernama Kikutei di Dogenzaka. Tulisan yang Tanaka sebut "cerita orisinil seperti skenario" ini selesai setelah sekitar satu minggu pengecekan ulang. Berdasarkan tulisan ini, sebuah "Naskah untuk Pertimbangan Karya G" dicetak pada 27 Mei. Pada saat draf pertama ini, Tsuburaya secara resmi bergabung pada proyek ini tanggal 23 dan 24 Mei.

Sedikit kilas balik ke musim semi 1952, Tsuburaya sempat mengajukan plot film tokusatsu kepada Departemen Perencanaan yaitu "ikan paus seperti monster muncul dari lautan dan menyerang Tokyo," dan "gurita raksasa menyerang kapal Jepang di Lautan India" pada tahun 1953. Ide-ide ini muncul ke dalam otak beliau ketika mengungsi selama Serangan Udara Tokyo tahun 1945, dan beliau memberitahu keluarganya bahwa dia mau menulis kengerian perang lewat film ini, dan karena ini beliau mengajukan monsternya adalah "gurita raksasa." Di sisi lain, Tanaka bersikeras dengan "dinosaurus purbakala" karena itu akan "sesuai dengan sentimen yang berlaku (pada saat itu)." Hasilnya, proposal Tanaka yang digunakan sehingga sang monster utama adalah "dinosaurus purbakala."

Tanaka memilih Ishiro Honda, yang telah menyutradarai dua film yang diproduseri Tanaka yaitu Taiheiyo no Washi (Elang dari Pasifik) dan Saraba Rabaul, untuk menjadi sutradara film baru ini. Tsuburaya juga mengerjakan efek khusus pada kedua film tersebut, sehingga ini menjadi ketiga kalinya tiga orang ini mengerjakan film bersama. Tanaka juga meminta Takeo Murata, yang juga telah membuat film 3 dimensi pertama Jepang berjudul Tobidashita Nichiyoubi bersama Tsuburaya tahun sebelumnya, untuk menulis naskah.

Mereka mulai mengerjakan skenarionya semalaman bersama Honda dan Murata. Tanaka dan Tsuburaya mengunjungi Honda dan Murata setiap hari untuk memeriksa kemajuan skenarionya. Ketika Murata menyebutkan keterbatasan teknologi efek khusus, Tsuburaya berkata, “Baiklah, jangan khawatir, ambil risiko dan tulis saja. Saya akan berusaha sebaik mungkin untuk mewujudkannya." 

 

Nama dan Desain Sang Raja Monster

Tanaka merasa judul "Monster Raksasa dari 20.000 Mil di Bawah Laut" terlalu panjang dan mencoba memikirkan judul yang lebih bagus. Produser Sato Ichiro kemudian memberitahunya mengenai nama panggilan seseorang di departemen teater Toho saat itu bernama Amikura Shiro (yang kemudian menjadi kepala departemen hiburan Toho) yang menyukai ikan paus (kujira) dan berpenampilan seperti gorila adalah Gujira. Tanaka menggunakan nama panggilan ini sebagai referensi dan mengubahnya sedikit menjadi Gojira, gabungan dari gorila dan kujira.

Mengenai asal mula nama diatas, tidak ada yang tahu dengan pasti apakah itu benar atau tidak. Dalam sebuah dokumenter BBC-TV di tahun 1998, Kimi Honda, istri Ishiro Honda, menampik cerita tersebut, dan menurutnya nama itu ditetapkan setelah diskusi yang sangat berhati-hati antara suaminya, Tsuburaya dan Tanaka. Ada juga yang menyebutkan Shigeru Kayama sudah tahu akan menggunakan nama Godzilla ketika baru mulai menulis G Sakuhin.

Konsep desain awal Godzilla.
Selanjutnya, mereka membahas desain Godzilla. Seniman manga Kazuyoshi Abe, yang saat itu karyanya yaitu Yamaotoko Dan-san diserialisasi dalam edisi sore Sankei Shimbun, diminta untuk menggambar desainnya. Desain Abe hanya sebagai referensi karena citra awan jamur (asap putih setelah ledakan nuklir) terlalu kuat, dan desain sebenarnya dibuat oleh Akira Watanabe. Purwarupa tanah liat oleh Watanabe dan Teizo Toshimitsu selesai pada akhir Juni. 

 

Teknik Pemakaian Kostum 

Awalnya, Tsuburaya mempertimbangkan untuk menggunakan teknik animasi boneka mengikuti metode Barat seperti The Lost World dan King Kong. Tapi setelah menghitung mundur dari tanggal pemutaran 3 November, dia memutuskan bahwa proses tersebut tidak mungkin dan mengadopsi metode nuigurumi (boneka yang diisi busa) dengan para aktor di dalamnya. Mereka akan membuat pakaian sang monster yang kemudian akan dikenakan oleh manusia sungguhan.

Haruo Nakajima, yang nantinya mengenakan kostum Godzilla, dibujuk oleh Tsuburaya yang berkata, “Jika kita melakukannya dengan animasi boneka, itu akan memakan waktu tujuh tahun, tapi jika Anda memerankannya, kita dapat melakukannya dalam tiga bulan." Hingga saat itu, satu-satunya cara untuk menciptakan monster untuk film adalah dengan animasi boneka, dan baik juru kamera Sadamasa Arikawa maupun Nakajima tidak tahu apa yang akan mereka lakukan ketika Tsuburaya mengatakan kepada mereka, "Kita akan melakukannya dengan nuigurumi." Godzilla adalah upaya pertama Jepang untuk menciptakan kostum monster dalam skala penuh.

Haruo Nakajima mengenakan setengah kostum Godzilla
untuk adegan yang hanya memperlihatkan kaki.
Ketika mengenakan kostum pertama, Nakajima tumbang didalamnya karena kostum tersebut terbuat dari lateks berat dan bahan yang tidak fleksibel. Kostum pertama ini kemudian dipotong menjadi dua bagian dan digunakan ketika hanya memerlukan pengambilan gambar secara sebagian, seperti hanya kaki Godzilla saja yang terlihat menginjak jalanan dan sebagainya. Untuk pengambilan gambar seluruh tubuh sang monster, dibuat kostum kedua yang lebih ringan dari yang pertama, tapi Nakajima hanya bisa bertahan 3 menit lebih lama dari sebelumnya dan kemudian langsung pingsan. Selama produksi film ini, beliau kehilangan 20 pon, tapi kemudian masih memerankan Godzilla maupun beberapa monster lain hingga pensiun di tahun 1972.

Meski Nakajima yang paling dikenal sebagai suit actor Godzilla, ada satu nama lagi yang turut mengenakan kostum dalam film ini yaitu Katsumi Tezuka. Namun tubuh Tezuka yang lebih tua membuatnya tidak dapat memenuhi tuntutan fisik sepenuhnya jika dibandingkan Nakajima. Akibatnya, banyak adegan Tezuka sebagai Godzilla tidak masuk pada hasil akhir karena sangat sedikit adegan yang dianggap dapat digunakan. Beliau menjadi pengganti Nakajima jika sedang tidak ada atau perlu bantuan dari peran yang menuntut fisik.

Kesulitan Dalam Syuting

Staf produksi dibagi menjadi 3 kelompok; Tim A menjadi produksi utama yang dipimpin Honda, Tim B untuk bagian efek khusus bersama Tsuburaya, dan Tim C untuk bagian komposisi bersama Hiroshi Mukaiyama. Bagian komposisi ini bertugas menggabungkan efek khusus dengan aktor dan latar di dunia nyata, salah satu contohnya adalah ketika Godzilla dan para manusia berada pada satu layar yang sama. Nantinya di Bagian Teknis Khusus, pengomposisian juga menjadi bagian dari efek khusus, tetapi pada saat film ini dibuat, tim pengomposisian adalah departemen independen yang berinteraksi langsung dengan tim produksi utama, dan Tsuburaya tidak dapat memberikan instruksi langsung kepada tim pengomposisian.

Karena lokasi syuting Ishigakami difokuskan pada adegan di mana Godzilla mendarat di Pulau Odo dan menampakkan diri, dan penduduk pulau serta tim survei yang menyaksikan adegan itu lari ketakutan, para aktor perlu membayangkan bahwa monster besar tiba-tiba muncul di depan mata mereka sebelum mereka berakting dalam adegan itu. Staf menjelaskan secara rinci apa itu Godzilla kepada penduduk yang berpartisipasi sebagai figuran, dan memberi tahu mereka bahwa Godzilla akan mengintip dari balik punggung gunung itu, tapi mereka semua hanya tertawa dan berkata, "Itu tidak masuk akal," dan tidak ada yang mempercayai mereka. Setelah dibujuk, para aktor dan figuran berlari di sekitar jalur gunung untuk sementara waktu dan menyelesaikan syuting. Penduduk, yang hanya menonton film itu sekali atau dua kali setahun di sebuah festival film keliling yang diadakan di halaman sekolah dasar kota itu, masih belum yakin, dan bertanya kepada asisten sutradara Kohji Kajita, "Bagaimana kita bisa memfilmkan Godzilla dan sejenisnya ketika mereka tidak ada di sini?"

Momoko Kochi (Emiko), Akira Takarada (Ogata)
dan Godzilla.
Fakta bahwa para aktor belum pernah melihat Godzilla atau benar-benar melihatnya di depan mereka, sehingga sulit bagi mereka untuk memahami dengan baik gambarannya, merupakan masalah utama bagi para aktor dalam film ini. Karena Tim A, yang bertanggung jawab atas bagian utama film, dan Tim B, yang bertanggung jawab atas efek khusus, melakukan syuting secara terpisah. Para aktor dalam Tim A, seperti Akira Takarada sebagai tokoh utama Hideto Ogata, belum pernah melihat Godzilla yang sebenarnya, dan Godzilla juga merupakan misteri bagi mereka. Meskipun tetap menjadi misteri, syuting terus berjalan dengan cepat. 

Untuk memberikan penampilan yang realistis dengan Godzilla yang tidak ada di depan mereka, Takarada melihat storyboard Godzilla dan mengembangkan gambaran Godzilla, dan karena dia diberitahu bahwa "Godzilla setinggi Gedung Marunouchi di depan Stasiun Tokyo," dia mencoba membayangkan bahwa wajah Godzilla akan berada di sekitar sini dan memposisikan pandangannya sesuai dengan itu. Gojira pertama Takarada di kehidupan nyata adalah yang pernah dia lihat secara langsung. Ketika Takarada pertama kali berhadapan langsung dengan Godzilla yang asli, pembuatan film sudah berada di paruh kedua pengambilan gambar. Ketika Takarada melihat Godzilla untuk pertama kalinya, dia merasa "menakutkan," dan mengingat bahwa meskipun dia tahu Haruo Nakajima ada di dalamnya, dia tetap merasa takut.


Penggunaan Miniatur Untuk Latar Sang Monster

Dalam film tokusatsu konvensional, efek khusus diperlakukan sebagai sub-kontraktor untuk film utama, tapi dalam film ini, sutradara Honda tidak dapat mengerjakan efek khusus sendiri dan menyerahkan semuanya kepada Tsuburaya. Selain itu, bahkan ketika pengambilan gambar orang, tim efek khusus terkadang bekerja atas permintaan Honda pada adegan-adegan yang perlu menangkap gerakan Godzilla dan aspek-aspek lain dari film.

Karena tinggi Godzilla dalam film tersebut ditetapkan pada "50 meter" berdasarkan pendapat Tsuburaya tentang "menghancurkan menara jam Gedung Wako" karena "kepalanya mengintip dari atas area gedung," miniatur tersebut distandarisasi ke skala 1/25. Sekelompok miniatur rumit dari area perkotaan Tokyo dibuat, tetapi karena produksi miniatur Ginza sering gagal menerima gambar dari gedung terkait, Tsuburaya, bersama dengan staf seni termasuk Akira Watanabe, Yasuyuki Inoue, Yoshio Irie, dan Kintaro Makino, melakukan pengintaian lokasi dan mengecat merah dan putih berukuran 10 cm x 10 cm, 2 meter. Inoue dan Irie menggambar gambar berdasarkan dimensi yang mereka tentukan berdasarkan tongkat sepanjang 2,5 meter. Selama pengintaian lokasi di sebuah gedung di Ginza, ada saat di mana Tsuburaya diinterogasi dengan curiga oleh seorang petugas polisi karena dia membahas hal-hal seperti "Haruskah kita bakar gedung di sana?" 

Godzilla berhadapan dengan miniatur Gedung Wako.

Butuh waktu sekitar satu bulan untuk membuat miniatur Ginza ini, membandingkannya dengan foto sebenarnya untuk memastikannya benar-benar sama. Staf seni termasuk Toru Narita, seorang mahasiswa seni saat itu, yang bekerja paruh waktu dan bertanggung jawab atas produksi bangunan miniatur dan lain-lain. Namun pada awalnya, mahasiswa sekolah seni paruh waktu ini dan toko plester tempat mereka bekerja membuat miniatur tanpa melihat rencana, dan skalanya tidak rata. Watanabe marah dengan ini dan menyuruh mereka mengulang semuanya sesuai dengan gambar. 

Selain itu, menurut Inoue, jalan-jalannya berlapis ganda untuk membuat kaki Godzilla pusing, tetapi staf melangkahinya satu demi satu sebelum syuting, dan butuh waktu lama untuk memperbaikinya. Batang besi yang menahan rantai trotoar juga direproduksi dalam baja, tapi diganti dengan kayu paulownia karena kemungkinan akan tersangkut ketika Godzilla jatuh. Karena film direkam dalam warna hitam-putih dan dengan kecepatan tinggi, miniatur tersebut akan terlihat gelap jika skema warnanya sama dengan aslinya, sehingga Sadao Iizuka, yang berpartisipasi sebagai pekerja seni paruh waktu, bersaksi bahwa dia diperintahkan untuk "melukisnya lebih terang daripada aslinya." 

Jumlah total miniatur yang dibuat untuk film ini sangat banyak: 500 bangunan, 10 tank, 10 meriam, 50 pesawat terbang, 10 menara TV dan menara transmisi tegangan tinggi, 20 kapal, dan 18 mobil. Data jumlah ini menurut pengumuman dalam email studio Toho saat itu. Bahan yang digunakan untuk miniatur yang dimanipulasi sebagian besar adalah pelat timah dan kayu.


Musik yang Ikonik

5 tahun setelah pertemuan tidak disengajanya dengan Tsuburaya, Akira Ifukube menggubah musik untuk film ini. Setelah dia ditugaskan dalam proyek ini dan diwawancarai pada pengumuman produksi film, beberapa orang menasihati Ifukube dengan sangat serius, dengan mengatakan, “Jika kamu membuat musik untuk film getemono (istilah untuk sesuatu yang aneh di Jepang), kamu tidak akan mendapatkan pekerjaan apa pun." Namun, Ifukube berkata, “Tidak mungkin, saya sangat antusias melakukannya.” Ifukube sendiri mengungkapkan bahwa dia menyadari bahwa monster Godzilla, yang diciptakan sebagai hasil dari pengujian bom hidrogen, tumpang tindih dengan dirinya sendiri, yang telah mengalami kerusakan radiasi selama periode pascaperang yang kacau, dan bahwa dia “tidak merasa seolah-olah itu adalah urusan orang lain.”

Akira Ifukube
Ifukube berkata tentang film tersebut, “Saya suka film tokusatsu karena tidak ada musik yang buruk di dalamnya,” dan “Saya merasa tidak bisa diam, terutama saat reptil terlibat dalam aksinya.” Beliau menambahkan, “Musik yang berasal dari taman kanak-kanak di dekat sana penuh dengan melodi kosong, dan saya berpikir bahwa anak-anak akan hancur jika mereka dididik dengan cara ini." Ifukube, yang selalu percaya bahwa “musik untuk anak-anak tidak boleh berbohong,” mencoba menggubah Godzilla dengan cara yang lugas: “Jika sesuatu yang besar keluar, gunakan suara yang keras.”

Jadi, musik utama Godzilla adalah bassoon kontrabas dan tuba kontrabas, yang dapat menghasilkan “suara yang besar”. Saat itu, hanya ada satu bassoon kontrabas di Universitas Seni Rupa dan Musik Nasional Tokyo, dan sulit untuk mengumpulkan instrumen dengan meminjamnya sehari sebelumnya. Dia juga mengatakan bahwa karena instrumen bass yang berat menjadi melodi utama, para pemain hampir gegar otak karena meniupnya hari demi hari. Di sisi lain, alat musik tiup kuningan juga sebagian besar terdiri dari alat musik gesek, karena mengingatkan penonton pada perang.


Pesan Anti-perang dan Anti-nuklir

Tanaka menyatakan bahwa tema karya ini adalah "ketakutan terhadap bom hidrogen." Takeo Murata sebagai penulis skenario mengatakan bahwa dia "mencurahkan kerinduannya terhadap bom atom dan hidrogen" ke dalam dialog Dr. Yamane di adegan terakhir. Posisi yang berbeda dan pendapat yang bertentangan dari Ogata, Dr. Yamane, dan putrinya yaitu Emiko tentang Godzilla merangkum opini publik tentang bom hidrogen saat itu.

Hideto Ogata, Emiko Yamane, Daisuke Serizawa.
Sutradara Honda mengatakan di awal: "Kebenaran yang saya tuju dalam film ini adalah deformasi psikologis orang-orang modern yang berjuang melawan kengerian di bawah bom hidrogen. Saya akan senang jika kengerian dan keputusasaan kehancuran dapat dibawa ke dalam pikiran melalui fiksi dan memberikan satu refleksi." Beliau kemudian mengomentari film tersebut, "Saya berharap film tersebut akan menjadi refleksi dari kengerian dan keputusasaan bom atom." Dia juga kemudian mengatakan, "Ini adalah karya yang juga memiliki pengaruh tak terduga pada saya, dan baik atau buruk, Godzilla adalah momen penting yang menentukan dalam hidup saya."


Promosi Besar-besaran Menuju Tanggal Rilis Film

Perilisan Godzilla yang akan menjadi film besar didahului oleh kampanye prapublisitas spektakuler oleh Tadao Saito dan Kazuya Uchida dari Departemen Penjualan dan Periklanan Toho dalam format yang sekarang dikenal sebagai media-mix. Sebagai langkah pertama dari publisitas jangka panjang, konferensi pers diadakan untuk mengumumkan produksi film pada tanggal 5 Juli, empat bulan sebelum perilisan film yang saat itu belum mulai syuting. Pengumuman dibuat di edisi pagi surat kabar pada hari yang sama dengan judul "Godzilla" di bawah tajuk utama "'Monster atom' yang akan 'melewati industri film aneh' mendarat di Tokyo." Foto publisitas yang digunakan dalam pengumuman tersebut adalah kolase yang dibuat dari purwarupa tanah liat awal.

Truk untuk promosi dengan boneka Godzilla.

Drama radio yang berhubungan dengan film ini kemudian diluncurkan pada tanggal 17 Juli di Nippon Broadcasting System. Publisitas yang cermat diluncurkan menjelang perilisan film, menggunakan semua jenis media iklan, termasuk majalah, mingguan, surat kabar, dan iklan yang dipasang di gerbong kereta. Sebelum dan sesudah perilisan film, sebuah truk publisitas yang membawa boneka Godzilla mengitari kota, semakin meningkatkan publisitas, lalu Toho juga menyiapkan boneka Godzilla berbahan vinil untuk keperluan iklan, dan sebuah buku komik karya Kazuyoshi Abe, yang bertanggung jawab atas desain asli Godzilla, diterbitkan dan didistribusikan di bioskop. Hasilnya, Godzilla menjadi salah satu film publisitas terbesar dalam sejarah box-office Toho.

 

Penyelesaian Syuting & Pratinjau Internal

Produksi film ini benar-benar selesai pada tanggal 25 Oktober. Setelah pratinjau pertama, Toho merayakan selesainya film dan mengadakan Festival Godzilla di halaman studio, dengan Akihiko Hirata sebagai dewa dan Momoko Kawachi sebagai pendeta wanita, untuk berdoa demi kesuksesan box office film tersebut. Tanaka, Honda, Tsuburaya, dan anggota staf lainnya serta Kayama memanjatkan doa. Setelah Festival Godzilla, “inspeksi pratinjau internal” diadakan di studio bersama manajemen atas dan staf Toho, di mana film dan efek spesialnya begitu luar biasa sehingga penonton berdiri.

Pesta yang diadakan setelah film diselesaikan.
Kayama, sebagai penulis cerita orisinilnya, duduk sendirian di antara penonton dan menangis karena terharu saat beliau mengasihani adegan terakhir Godzilla. Pratinjau pihak terkait untuk media diadakan di Teater Asakusa Takarazuka, dan sekali lagi, mata Kayama berkaca-kaca. Menurut Tsuburaya, Kayama sangat terkesan dengan kualitas film tersebut sehingga beliau mengundang seluruh staf ke perjamuan semalam di Atami setelah film tersebut dirilis.


Perilisan Film & Tanggapannya

Film yang telah rampung ini menjadi film laris yang belum pernah terjadi sebelumnya setelah dirilis, mencatat jumlah penonton yang belum pernah terjadi sebelumnya pada saat itu, dan memecahkan rekor Toho untuk jumlah penonton pada hari pertama di tahun yang sama. Antrean penonton yang mengantre di Shibuya Toho memanjang hingga Dogenzaka, dan waktu tunggunya mencapai dua jam. Pada hari pertama pembukaannya, film tersebut menarik 140.000-150.000 orang di Tokyo saja. Penonton di bioskop pertama saja mencapai 9,61 juta, yang berarti hampir satu dari setiap sepuluh orang di Jepang telah menonton film tersebut. 

Keberhasilan Godzilla dikatakan telah dengan cepat memulihkan keberuntungan Toho yang saat itu sedang tren. Para eksekutif Toho sangat senang dengan kesuksesan besar film tersebut dan mengundang kru film ke kantor eksekutif, di mana mereka disuguhi bir dan sake oleh Masumi Fujimoto dan eksekutif lain dari kantor pusat, sementara rekor box office dilaporkan satu demi satu. 

Poster lain Godzilla.

Toho melakukan survei terhadap anak-anak di bioskop tempat film tersebut dirilis, dan banyak dari mereka menyatakan simpati kepada Godzilla. Penonton juga bertanya, "Mengapa Anda membunuh Godzilla?" dan "Saya merasa kasihan pada Godzilla." Akira Takarada juga menyatakan bahwa ia "merasa simpati pada Godzilla" dan "tidak dapat menahan tangis tak berdaya tentang mengapa manusia harus membunuh hewan tak berdosa." Murata, yang bertanggung jawab atas skenario, juga menyatakan simpati kepada staf, dengan mengatakan "Saya merasa kasihan pada Godzilla."

Di sisi lain, film ini secara umum diterima dengan buruk oleh jurnalisme Jepang pada saat dirilis, dan sering dikritik keras sebagai film getemono atau kiwamono. Meskipun aspek efek khusus film ini dipuji dalam ulasan berbagai surat kabar, film ini tidak dievaluasi dengan cara yang diinginkan Honda, karena “bagian drama manusianya berlebihan.” Namun, menurut Tanaka, pada saat itu, hanya Yukio Mishima yang memuji film tersebut, termasuk bagian dramanya, dengan mengatakan, “Kengerian bom atom diungkapkan dengan baik, konsepnya luar biasa dan menarik, dan film ini memiliki kekuatan untuk mengkritik peradaban.” Kemudian, beberapa nama terkenal seperti Yasujiro Ozu, Osamu Tezuka, Nagaharu Yodogawa, dan Shigeru Mizuki, turut memuji film tersebut.

Film ini juga sangat diakui di luar negeri. Nama Eiji Tsuburaya, yang sudah tak tertandingi sebagai teknisi efek khusus, menjadi dikenal luas bahkan di negara-negara asing. Menurut Tanaka dan Honda, "Film ini pertama kali dikenal di Eropa, dan fakta bahwa film ini menjadi populer di Amerika Serikat tampaknya telah membangun reputasinya di Jepang." Bicara soal luar negeri...


Sunting Ulang Menjadi Versi Amerika

Setelah Godzilla sukses di Jepang, Toho menjual hak Amerika kepada Joseph E. Levine seharga 25.000 dolar. Versi film yang telah diubah secara besar-besaran dirilis di Amerika Serikat dan di seluruh dunia sebagai "Godzilla, King of the Monsters!" pada tanggal 27 April 1956. Versi ini memangkas durasi film aslinya menjadi 80 menit dan menampilkan cuplikan baru dengan aktor Raymond Burr yang berinteraksi dengan pemeran pengganti yang dicampur dengan cuplikan Honda agar tampak seolah-olah dia merupakan bagian dari produksi Jepang asli. Banyak tema politik dalam film tersebut dipangkas atau dihilangkan sepenuhnya. 

Poster film Godzilla, King of the Monsters!

Versi film Godzilla inilah yang memperkenalkan karakter dan waralaba tersebut kepada penonton di seluruh dunia dan satu-satunya versi yang dapat diakses oleh kritikus dan akademisi. Versi tahun 1954 tersebut dirilis di bioskop-bioskop tertentu di Amerika Utara di tahun 2004. Godzilla, King of the Monsters! meraup keuntungan sebesar 2 juta dolar selama pemutaran teatrikalnya, lebih banyak daripada pendapatan film tahun 1954 di Jepang.

Honda tidak menyadari bahwa Godzilla telah disunting ulang hingga Toho merilis Godzilla, King of the Monsters! di Jepang pada bulan Mei 1957 sebagai Kaiju-Oh Godzilla. Toho mengubah keseluruhan film dari cakupan aslinya menjadi cakupan layar lebar 2.35:1, yang mengakibatkan pemotongan yang janggal untuk keseluruhan film. Takarir Jepang diberikan kepada para aktor Jepang karena dialog asli mereka sangat berbeda dari naskah asli dan dialihbahasakan ke dalam bahasa Inggris. Sejak perilisan film tersebut, Toho telah mengadopsi julukan "King of the Monsters" untuk Godzilla, yang sejak itu muncul dalam materi pemasaran, iklan, dan promosi resmi.


Pengaruh Di Kemudian Hari

Kesuksesan film pertama Godzilla ini membuat film berikutnya yang berjudul Godzilla no Gyakushu (Godzilla Raids Again sebagai judul internasional) diproduksi secara cepat dan dirilis pada 24 April 1955, hanya sekitar 5 bulan sejak film pertamanya. Sejak saat itu, film Godzilla terus diproduksi setiap beberapa tahun, terbagi menjadi berbagai era, dan hadir dalam media selain film layar lebar juga. Waralaba Godzilla telah diakui oleh Guinness World Records sebagai waralaba film dengan durasi terpanjang dalam sejarah. 

Sejak debutnya, Godzilla menjadi ikon budaya pop internasional, yang menginspirasi banyak sekali tiruan, tiruan, parodi, dan penghormatan. Film tahun 1954 ini dan Eiji Tsuburaya sebagai sutradara efek khusus telah banyak diakui sebagai pelopor tokusatsu secara spesifik, yaitu teknik pembuatan film dengan efek khusus praktis yang menjadi penting dalam industri film Jepang setelah Godzilla dirilis. Dalam konteks ini, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa film Godzilla pertama memiliki dampak yang luar biasa tidak hanya pada hiburan tokusatsu tapi juga subkultur Jepang pascaperang secara umum.



Sumber

  • https://ja.wikipedia.org/wiki/%E3%82%B4%E3%82%B8%E3%83%A9_(1954%E5%B9%B4%E3%81%AE%E6%98%A0%E7%94%BB)
  • https://en.wikipedia.org/wiki/Godzilla_(1954_film)
  • https://dic.pixiv.net/a/%E5%88%9D%E4%BB%A3%E3%82%B4%E3%82%B8%E3%83%A9
  • "The History of Godzilla (1954)" - Big Action Bill @ Youtube
     

Tidak ada komentar:

Posting Komentar